Perintis Jutaan Kasih

Ulya K. Kusumaning Daru
1 min readFeb 22, 2024

--

Seseorang pernah menyatakan bahwa dirinya adalah penyair melegenda. Saat kutanya, “Memang syair apa yang pernah kamu ciptakan?” Tanpa ada setitik keraguan ia lantas berkata, “Kamu.”

Aku adalah secarik kertas putih yang apik, katanya. Dijaga tetap bersih supaya tidak terkoyak dan menguning. Sementara, ia adalah wujud nyata dari jutaan puja-puji. Tumbuh dibalut cinta dan diselimuti kasih, ia adalah salah satu baik yang ada di bumi. Tuan ini penuh dengan belas kasih yang dituang melalui antologi puisi. Aku adalah secarik kertas yang dipenuhi guratan syair buai dan kasih.

Saat menemukanku, sorot gegap gempita yang ditunjukkannya nyaris membuat getir. Tiada yang dapat ia ungkap dengan lisan, melainkan hanya dengan goresan harap untuk memiliki yang ditulis dengan sebuah pena jati. Saban hari aku sangsi, tapi ia tiada henti melaungkan syair yang berarti. Sampai diujung hari aku mencair, lelehan sangsi menguap ke cakrawala kemudian diturunkan kembali menjadi afeksi dalam sosok Tuan Penyair.

Secarik kertas ini melebur jadi satu dengan syair. Secarik kertas ini sudah tidak putih bersih. Meski demikian, secarik kertas ini justru menjadi maha indah sebab dihiasi rentetan kalimat puja dan gaungan puji. Tiada hari tanpa aku menjadi syair. Sebab, Si Penyair Melegenda ini sedang merintis jutaan kasih dari secarik kertas apik.

--

--